Ada baiknya, pemberian konsesi tidak dilihat dari sisi fair dan enggak fair. Tahun ini yang menikmati Honda dan Yamaha gara-gara terpuruk di musim kompetisi 2023. Dulu, tahun 2014, Ducati juga pernah mengalami nasib paceklik podium hingga diberikan konsesi. So, jangan bilang pabrikan Eropa dirugikan atau pabrikan Jepang diistimewakan. Bukan.
Konsesi jangan juga ditinjau dari segi komersialnya melulu. Meski kita tahu, kesetaraan kecepatan menjadikan balapan menarik. Bikin penonton banyak dan pemasukan melimpah. Mestinya, konsesi dilihat dari sisi safety pembalap. Pokok pemikirannya adalah pengembangan motor belakangan ini sangat luar biasa. Teknologi software, aerodinamika dan lainnya membuat pencapaian lap time bikin bulu kuduk berdiri. Bayangkan. Kecepatan motor tembus di angka 366,1 km/jam atau 227,7 mil/jam seperti dibukukan Brad Binder (KTM) di Sprint Race, tahun lalu di Mugello. Ini mengerikan bahkan untuk MotoGP.
Baca juga : https://motosport.id/jelang-motogp-qatar-2024-francesco-bagnaia-bikin-pembalap-lain-gigit-jari-dua-tahun/
Mari kita lihat pembentukan konsesi dari sisi safety. Soalnya begini lho. Kecepatan segitu masuk dalam kategori bahaya lantaran berkaitan dengan dua elemen penting; jarak pengereman dan corner speed (kecepatan di tikungan). Semua pembalap pasti akan memaksimalkan kedua hal itu untuk memenangkan lomba. Itu sama artinya memberi peluang pembalap untuk celaka. Pasalnya, kecepatan yang semakin tinggi perlu run off area yang lebih lega dan sirkuit yang ada, perlu modifikasi dari segi teknis lain, sebagai antisipasi keselamatan/ safety pembalap. Mestinya, konsesi selalu dialamatkan soal safety, bukan melulu peningkatan kecepatan motor. Dan ini harusnya ranah FIM sebagai penggawang balap motor dunia, bukan wewenang Dorna sebagai promotor.
[foto utama : MotoGP]